"RILAKUMA"

"RILAKUMA"

Kamis, 29 Januari 2015

Bumi Dan Langit

   Bumi Dan Langit
          Gerimis yang mengguyur kota subuh tadi membuat udarapagi ini terasa lebih segar. Sinar mentari pagi menghangatkan tubuh yang dengan riang berjingkat dan meloncat menghindari kubangan lumpur. Daun-daun basah bergoyang menyapa, mengucapkan salam dan selamat pagi. Pagi ini alam menyapa penghuni bumi dengan caranya yang indah. Namun tak dihiraukan oleh gadis gendut yang selalu mendapatkan tatapan tak mengenakkan setiap setiap kali ia menjejakkan kaki di sekolah. Tatapan yang memiliki makna seluas langit. Tatapan yang seakan bicara apakah ini ya gadis yang katanya cupu dan aneh itu ? Atau… memang benar kata gossip yang beredar, gadis ini kelihatan sangat aneh! Setiap hari selalu seperti itu. Ah, bahkan mungkin si gadis gendut sudah lupa apa itu risih.

            Beberapa penghuni kelas XI Bahasa 1 menoleh sekilas ke arah sosok bertubuh gendut dan berkulit putihnpucat yang baru saja memasuki kelas dengan menunduk, seperti biasanya. Sepatunya yang masih setengah basah karena terguyur hujan kemarin sore membuat langkahnya berdecit-decit. Seperti kemarin, kemarin lusa dan kemarin-kemarinnya lagi, sosok itu memilih duduk di bangku pojok belakang kelas. Dialah Rania. Gadis yang selalu memandang sinis kepada siapapun yang berusaha akrab kepadanya. Baginya, teman-teman sekelasnya terlalu banyak cincong dan tak serasi dengan dirinya ang kurang nyaman berada di tengah keramaian. Iya, sebenarnya hanya karena itu.
            “Silahkan bentuk kelompok minimal 3 orang dan maksimal 4 orang untuk menampilkan drama singkat. Saya ada urusan di DIKNAS, tolong kelas dikondisikan.” Setelah memberikan instruksi singkat, Pak Gunawan bergegas meninggalkan kelas dengan tergesa. Beberapa menit kemudian, kelas menjadi ramai dengan celotehan-celotehan murid yang sibuk mencari teman sekelompok atau bingung memilih tema untuk dramanya. Namun Rania sama sekali tak terusik. Ia lebih memilih mendengarkan lagu-lagu Amerika Latin favoritnya. Masa bodoh dengan anak-anak lain yang memandangnya dengan pandangan tak suka. Baginya, selama ia merasa nyaman tidak memiiki teman, mengapa harus repot-repot menanggapi orang lain yang hanya mampu menatapnya dengan sinis ?
            “Menurutku, tidak mungkin ada lelaki yang mau dengan gadis seperti dia.” Bisik Bima pada teman sekelompoknya, sambil tanpa basa-basi menunjuk kea rah Rania.  “Bagaimana kalau kita taruhan?” sahut Dion dengan bersemangat, membuat teman sekelompoknya yang awalnya memerhatikan Rania menoleh. Sebelah alis Bima terangkat, taruhan apa?
            “Nanti malam ada siaran tinju Mike Perez vs Lukasz Janik. Aku menjagokan Lukasz. Kalau sampai Lukasz KO, aku harus nembak dan jadian sama dia selama satu minggu. Oke, deal!”

            Lapangan voli sudah mulai sepi, hanya tersisa satu-dua anak yang berlari-lari kecil sudah terlambat memasuki kelas. Hawa siang menjelang sore semakin terasa, diiringi oleh warna langit yang semakin pucat. Gedung sekolah ini, dengan segala hiruk pikuknya pun memiliki warna tersendiri setiap siang menemui penghujungnya. Wajah-wajah lelah dan mengantuk bertebaran menjadi pemandangan yang biasa. Namun Rania sama sekali tak mengantuk . Bayangan kejadian ketika jam olahraga tadi terus menghantuinya. Ia mengetuk-ngetuk meja sambil menceracau tidak jelas. Bu Nurul yang bersemangat menjelaskan sifat-sifat trigonometri tak dihiraukannya. Hatinya tidak tenang, pikirannya menerawang.
            Pagi tadi, Rania yang ditugasi menjaga HP dan kacamata teman-temannya  secara tidak sengaja menemukan aplikasi chatting di HP salah satu anak. Terlanjur, Rania melihat-lihat history dan menemukan sebuah grup bernama H-1 Rania-Dion!!! Sakit hati Rania mengetahui bahwa grup itu adalah grup kelasnya yang selama 2 hari terakhir membicarakan rencana Dion yang akan menyatakan cinta kepadanya karena kalah dalam taruhan.
            Sekolah hari itu akhirnya usai. Rania membereskan buku-bukunya yang berserakan di meja. Melalui ujung matanya ia melihat Dion yang mendekat, menuju ke arahnya. Tanpa pikir panjang lagi, Rania melemparkan tasnya berisi buku-buku tebal kea rah Dion. Pertahanannya telah runtuh. Bulir-bulir hangat mengalir deras membasahi pipinya.
            “Mau apa kau kemari? Kau kalah taruhan dan kau ku tolak ! kalian semua keterlaluan ! aku memang tidak sekeren kalian, aku juga tidak puna teman, tapi sungguh… kalian tidak punya hak untuk memperlakukan aku seperti ini!”
            Dion dan anak-anak lain tak bergeming, membiarkan Rania meluapkan amarahnya. Sebagian lagi bingung, dari mana Rania tahu tentang taruhan itu sementara Dion belum mengeluarkan sepatah katapun. Adalah Rania yang kemudian bergegas meninggalkan teman-temannya yang bergerombol dengan air mata berderai. Seakan tak terjadi apa-apa, Dion dan anak-anak yang lain tertawa terbahak-bahak. Ejekan demi ejekan untuk Rania memenuhi langit-langit dan suara demi suara menggema memenuhi ruang kelas.
            Esok harinya, esok harinya lagi, atau bahkan satu tahun kemudian, kisah ini masih belum memenuhi akhir yang menggembirakan. Bagaimana akan berakhir bahagia apabila Rania takmau lebih membuka diri, apabila anak-anak lain pun terlalu malas untuk memiliki teman yang nyeleneh sepert Rania. Hei, apakah harus terlihat serasi untuk bersahabat? Menurutku tidak. Bukankah bumi dan langit tak pernah serasi? Namun keduanya serasa, saling menaungi dan melindungi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar